Moderasi dalam Berselawat Islami
Moderasi Berselawat: Antara Fanatisme dan Apatisme
Berselawat kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah salah satu ibadah yang sangat Islam anjurkan. Selawat bukan sekadar ungkapan pujian, tetapi juga bentuk kecintaan dan penghormatan kepada Rasulullah ﷺ. Bahkan, Allah SWT sendiri memerintahkan kaum mukmin untuk berselawat dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Namun, dalam praktiknya, sikap umat Islam terhadap selawat sering kali terbagi ke dalam dua kutub ekstrem, yaitu fanatisme dan apatisme. Di satu sisi, ada kelompok yang terlalu berlebihan dalam mengamalkan selawat hingga terjebak dalam sikap fanatik yang tidak proporsional. Di sisi lain, ada juga yang meremehkan selawat dan bahkan menganggapnya sebagai amalan yang kurang penting dalam kehidupan beragama. Keseimbangan dalam berselawat menjadi sangat penting agar ibadah ini tetap berada dalam koridor ajaran Islam yang benar.
Fanatisme dalam Berselawat
Fanatisme dalam berselawat terjadi ketika seseorang melebih-lebihkan amalan ini hingga melampaui batas yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Salah satu bentuk fanatisme adalah menganggap selawat sebagai satu-satunya ibadah yang cukup, sehingga mengabaikan kewajiban lain seperti shalat, zakat, dan puasa. Padahal, Islam adalah agama yang menekankan keseimbangan dalam beribadah.
Selain itu, ada juga kelompok yang mengkultuskan Nabi secara berlebihan hingga hampir menyamakan beliau dengan sifat ketuhanan. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengetahui segala sesuatu, dapat memberikan pertolongan secara mutlak, atau memiliki sifat-sifat yang hanya layak bagi Allah SWT. Sikap seperti ini bertentangan dengan ajaran tauhid yang menegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah dan dimintai pertolongan secara langsung.
Lebih jauh, sebagian kelompok yang fanatik dalam berselawat juga cenderung menghakimi orang lain. Mereka meyakini bahwa hanya orang-orang yang banyak berselawat yang akan mendapatkan keselamatan, seolah-olah amalan lain tidak memiliki pengaruh dalam perjalanan spiritual seorang muslim. Padahal, Islam mengajarkan bahwa keselamatan di akhirat bergantung pada iman, amal saleh, dan rahmat Allah SWT.
Apatisme terhadap Berselawat
Di sisi lain, ada pula kelompok yang bersikap apatis atau acuh tak acuh terhadap selawat. Mereka menganggap selawat sebagai amalan yang tidak terlalu penting dan hanya dilakukan dalam konteks tertentu, seperti di dalam shalat atau saat mendengar nama Nabi disebut. Sikap ini mengabaikan keutamaan selawat yang sebenarnya memiliki banyak manfaat, baik secara spiritual maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian orang bahkan enggan menghadiri majelis-majelis selawat dengan alasan bahwa hal itu bukan bagian dari ajaran utama Islam. Mereka beranggapan bahwa cukup menjalankan rukun Islam tanpa perlu memperbanyak amalan seperti selawat. Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri telah menjelaskan berbagai keutamaan selawat, termasuk sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, menghapus dosa, serta mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat.
Lebih jauh lagi, ada kelompok yang secara ekstrem meremehkan atau bahkan mencela mereka yang gemar berselawat. Mereka menganggap bahwa praktik seperti membaca selawat berjamaah atau mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah yang harus dijauhi. Padahal, selama suatu amalan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tetap berada dalam koridor syariat, maka hal itu termasuk bagian dari ibadah yang bernilai kebaikan.
Moderasi dalam Berselawat
Sikap yang paling tepat dalam berselawat adalah berada di tengah-tengah, yaitu dengan menunaikan amalan ini secara moderat dan seimbang. Berselawat hendaknya dijadikan sebagai amalan yang rutin dilakukan, tetapi tetap dalam batas kewajaran dan tidak mengabaikan ibadah lainnya. Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan umatnya untuk berselawat, tetapi beliau juga tidak pernah mengajarkan untuk berlebihan dalam melakukannya hingga mengabaikan kewajiban lain.
Selain itu, memahami posisi Nabi sebagai manusia pilihan Allah merupakan bagian dari moderasi dalam berselawat. Umat Islam harus mencintai Rasulullah ﷺ, tetapi tidak sampai mengangkat beliau ke tingkat ketuhanan. Nabi adalah hamba dan utusan Allah yang memiliki kedudukan mulia, namun beliau tetap manusia yang tidak lepas dari sifat kemanusiaan.
Moderasi juga berarti menghormati perbedaan dalam cara berselawat. Ada berbagai bentuk selawat yang diajarkan dalam hadis maupun yang dikembangkan oleh ulama, dan selama tidak bertentangan dengan syariat, maka semuanya dapat diamalkan. Perbedaan dalam cara berselawat hendaknya tidak menjadi alasan untuk saling mencela atau menghakimi.
Sebagai kesimpulan, berselawat adalah salah satu amalan yang memiliki banyak keutamaan dalam Islam. Namun, dalam mengamalkannya, umat Islam perlu menjaga keseimbangan antara tidak berlebihan (fanatisme) dan tidak mengabaikan (apatisme). Sebagaimana Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, demikian pula dalam berselawat.
Buku Moderasi Berselawat Antara Fanatisme dan Apatisme ini hadir untuk menambah ilmu serta wawasan para pembaca mengenai segala hal terkait urgensi berselawat kepada Nabi saw. dalam kehidupan sehari-hari. Selawat memiliki esensi mendalam dalam kehidupan umat Islam, bagi mereka yang membacanya dengan penuh keikhlasan akan diberikan ganjaran pahala yang berlimpah. Namun, orang yang tidak berselawat dianggap sebagai orang yang paling kikir. Buku ini bisa anda dapartkan dari Penerbit Literasi Nusantara.
Moderasi dalam Berselawat Islami
Dalam buku ini terdapat 8 bagian dengan rincian sebagai berikut :
- Prawacana
- Landasan Filosofis Selawat
- Redaksional Selawat dari Aspek Waktu
- Redaksional Selawat dari Aspek Landasan Normatif
- Sikap Moderat terhadap Selawat: Antara Fanatisme dan Apatis
- Redaksional Selawat Prosais
- Redaksional Selawat Puitis
- Urgensi Selawat di Zaman Now