Saat ini, arah kebijakan tindak pidana korupsi yang dilakukan Aparat Penegak Hukum (APH) lebih mengarah pada follow the suspect bukan follow the money dan follow the document. Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa kebijakan tersebut tidak memberikan efek jera dan mengurangi kejahatan korupsi. Pernyataan tersebut dapat diketahui dari jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK semakin meningkat dari 2004-2017. Sebagai tambahannya, APH berupaya mencari alternatif sanksi lain, seperti pemiskinan atau pengembalian uang korupsi untuk menanggulangi tindak pidana korupsi. Para koruptor sudah semestinya dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti dan perampasan barang-barang tertentu. Tentunya hukuman tersebut telah diselaraskan dengan Undang-Undang No. 31 1999 Pasal 18 Ayat (2) tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 2001. Namun, besaran uang pengganti terbatas pada jumlah uang yang dicurinya. Dengan demikian, diperlukan alternatif lain untuk menemukan formulasi guna membentuk kebijakan baru berupa nominal uang pengganti. Jika dilihat dari kacamata Islam, hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni hudud dan takzir. Tindak pidana korupsi tergolong dalam jarimah takzir, sebab sanksi bagi para koruptor tidak diatur secara detail oleh nash Al-Qur’an atau hadis. Maka, hukumannya ditentukan sepenuhnya oleh penguasa dengan tetap mengacu pada maqashid al-syariah sehingga dapat melindungi kemaslahatan seluruh masyarakat dan memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya.
Materi-materi yang disajikan adalah:
- Deksripsi Umum Tindak Pidana Korupsi
- Norma Formulasi dan Besaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi
- Audit Investigatif dan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
- Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara
- Maqashid Syariah
- Uang Pengganti dalam Perspektif Maqashid Syariah
